Senin, 04 Mei 2009

Mari Berlawan

Kepalkan tanganmu kawan!!
Hari ini hari kita

Ketika langkahmu dibatasi
Ketika hakmu direnggut
Apakah kita harus tetap diam?

Hari ini rakyat kelaparan
Sementara mereka asik berlomba memamerkan harta
Mengobral janji-janji palsu menganggap kita bisu
Apakah kita bisu?

Mungkin esok beribu ibu membunuh anaknya
Terpaksa karena tak mampu menyambung hari esok
Kemudian mereka saling menuduh
Menarik kembali janji-janji penyejuk
Apakah kita tetap menunduk?
Apakah kita tetap terduduk?

Mungkin lusa semua orang membunuh
Anak-anaknya, istri-istrinya, suami-suaminya, cucu-cucunya dan dirinya sendiri
Karena tak mampu menyambung urat nadinya
Apakah kita punya nyali?

Minggu, 03 Mei 2009

Tragedi Situ Gintung

Sejarah Singkat Situ Gintung

Tepatnya 76 tahun silam yang lalu, Belanda membangun sebuah tanggul pada sungai mengalir. Tanggul dilengkapi dengan pintu air dan limpasan air atau spillway yang berfungsi sebagai irigasi pada musim panas dan penyeimbang air jika terjadi penumpukan berlebih dalam titik tertentu pada musim hujan. Kedalaman limpasan air mencapai sebelas meter sehingga mampu mencukupi kebutuhan petani selama musim panas.
Situ Gintung, sungai yang dibuat sebagai danau buatan oleh Belanda memiliki panjang hingga 200 meter dan lebar spillway lima meter. luas bendungan mencapai 33 hektar, jumlah total volume airnya mencapai kurang lebih 1,5 juta kubik. Petani tidak perlu mempertimbangkan terjadinya kekeringan pada musim panas.
Pada jaman Belanda, daerah sekitar tanggul hanya difungsikan sebagai lahan pertanian demi kemudahan pengairan lahan-lahan sawah sekitar. Pasalnya, pembangunan akan menumbalkan pepohonan dan lahan pertanian. Hal ini lah yang memandulkan penggunaan kumpulan air dalam bendungan. Ketika bendungan dipenuhi oleh air dan tidak dialokasikan untuk pengairan lahan sawah, air dalam bendungan akan menumpuk kemudian berpotensi membanjiri daerah-daerah sekitar bahkan membobol tembok bendungan.


Penyimpangan Rancangan Tata Kota

Seiring berjalannya waktu, semakin hari Situ Gintung semakin disesaki oleh rumah-rumah mewah padahal menurut M. Hidayat selaku Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Tangerang, pembangunan permukiman hanya diijinkan hingga radius 50 meter dari tepi Situ Gintung. Pada kenyataannya, Tempo memiliki dokumen perizinan pemanfaatan ruang yang diberikan Ismet Iskandar, Bupati Tangerang kepada warga setempat.
Bukan hanya satu kali pihak Tempo berusaha menemui Petrus Hamidy Subari selaku pemilik dan Direktur Utama Cireundeu Lakeside untuk meminta penjelasan seputar pembangunan rumah mewah minimalis yang telah melanggar garis sempadan, yaitu garis batas pembangunan.
Tidak dipungkiri, pemandangan situ gintung sangat indah. Terbukti dari 33 rumah mewah bergaya minimalis yang memiliki kisaran harga mulai dari 900 juta hingga 1.2 milyar ditepi Situ Gintung, belum termasuk lahan-lahan lainnya yang masih dalam proses pembangunan, itulah yang dijual oleh Cirendeu Lakeside.
Kepemilikan modal dapat menyulap sesuatu yang tidak mugkin menjadi mungkin, semua berjalan demi keuntungan pribadi semata. Tidak menutup kemungkinan antara pemilik modal dengan pihak pemerintah melakukan penyimpangan-penyimpangan demi mengakumulasi keuntungan tanpa memperhatikan dampak yang akan muncul nantinya. Jika tidak, lalu bagaimana mungkin Cirendeu Lakeside dapat melakukan pembangunan hingga mencapai tepi Situ Gintung tanpa adanya sertifikat tanah dari Badan Pelayanan Perizinan.
Cirendeu Lakeside bukan hanya satu-satunya komplek perumahan yang melanggar tata ruang Situ Gintung. Salah satu yang lainnya adalah rumah milik Boy sofyar, beberapa ratus meter dari Cirendeu Lakeside. Pagar rumah pengusaha ini berhasil setara dengan tepi danau bahkan aula rumahnya nyaris menyatu dengan pagar danau. Saat dimintai informasi oleh tim Tempo, Boy tidak bisa ditemui. Berdasarkan penjelasan penjaga rumah, Boy sedang di Amerika.
Di sisi lain Situ Gintung terdapat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Menurut penjelasan M. Hidayat, “UIN memiliki izin, karena sesuai dengan peruntukkannya” meskipun pagar UIN menempel ditepi Situ Gintung. Jauh berbeda dengan statement M. Hidayat sebelumnya mengenai aturan sempadan bahwa pembangunan hanya diizinkan hingga radius 50 meter dari tepi Situ Gintung, “Melanggar garis sempadan. Kita tidak ada tawar-menawar” ujarnya saat diwawancara oleh Tempo.
Peraturan dilarangnya melakukan pembangunan dalam radius 50 meter dari tepi Situ Gintung dimaksudkan untuk mencegah terjadinya deskalasi pengurangan proses penyerapan dan penggunaan air Situ Gintung. Pada jamam Belanda, lahan di sekitar Situ Gintung diperuntukkan bagi pepohonan dan lahan sawah. Adanya pepohonan berfungsi sebagai penyerap air sehingga kondisi tanah tidak mengalami penurunan kualitas seperti saat ini. Dari segi geomorfologis, tanah di Situ Gintung berjenis aluvial yaitu, tanah yang mudah bereaksi dengan air. Konkretnya, tanah yang banyak mengandung air akan menjadi liat.
Adanya lahan sawah membuat Situ Gintung berfungsi sebagai irigasi sehingga beban jumlah air dalam bendungan akan berkurang. Sementara itu, saat ini banyak terdapat bangunan-bangunan ditepi Situ Gintung dengan sedikit menyisakan lahan untuk persawahan. Hal ini berdampak pada penumpukan jumlah air dalam bendungan karena kurang terpakai sebagai irigasi. Sehingga jelas tentang pentingnya keberadaan pepohonan dan lahan persawahan di tepi Situ Gintung, bukan bangunan-bangunan mewah yang mampu menyebabkan bencana. Sebenarnya kerusakan bendungan Situ Gintung tidak akan terjadi jika lembaga-lembaga yang terkait dengan kepengurusan Situ Gintung memegang teguh perencanaan tata kota dengan baik dan benar.


Minimnya perawatan Situ Gintung

Dana sebesar 1.5 milyar yang telah di berikan kepada lembaga terkait kepengurusan Situ tersebut patut dipertanyakan, karena selama ini banyak pihak yang berkontribusi, tapi pihak pemerintah yang paling bertanggung jawab atas semua itu. Pernyataan ini juga diperkuat dengan analisis Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Sutopo Purwonugroho, memaparkan bahwa curah hujan yang tinggi bukan faktor utama atas jebolnya tanggul Situ Gintung, melainkan sebagai pemicu (triger) karena volume air mengalami kenaikan yang secara cepat karena lebar spillway hanya 5 meter.
Curah hujan di kawasan sekitar Situ Gintung mencapai 113,2 mm per hari, curah hujan seperti itu terjadi dua kali, dengan hujan ekstrim 70 mm per jam sehingga menaikan muka air situ gintung. Anehnya, ketika jakarta mengalami hujan besar pada tahun 2007 dengan curah hujan mencapai 275-300 mm per hari, tanggul tidak jebol. Maka pernyataan Sutopo Purwonugroho mengenai curah hujan yang bukan penyebab utama terjadinya banjir patut dipertimbangkan. Baik dari segi perawatan situ Gintung, kondisi bangunan atau pengurusan Situ Gintung itu sendiri.
Berdasarkan pada Harian Tempo, Jumat, 3 April 2009 yang memberitakan tentang pelaporan warga Situ Gintung kepada pihak terkait mengenai buruknya kondisi bendungan, “Bahkan kondisi Situ itu sudah kurang bagus sejak tahun 1980. Warga sudah lapor tapi tidak ditanggapi. Lalu, untuk apa dana 1.5 miliar untuk pengelolaan? Ini patut dipertanyakan.” Ujar Berry, salah satu warga daerah sekitar Situ Gintung. Hal inilah yang perlu menjadi sorotan penting, kondisi objektif bendungan dan pengurusan bendungan adalah bentuk sebab-akibat bak dua sisi uang logam yang tidak dapat dipisahkan.
Terhitung mulai Agustus 2007 Situ Gintung berada dalam pengawasan Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum sesuai dengan undang-undang tentang Sumber Daya Air tahun 2004. Iwan Nursyirwan selaku Direktur Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum menjelaskan bahwa sebelumnya Situ Gintung dibawah pengawasan Proyek Irigasi Jawa Barat. “Sebelumnya, danau ini dikelola Proyek Irigasi Jawa Barat. Kami terima sudah dalam kondisi padat, ada restoran, universitas, maupun permukiman.” Jelas Iwan Nursyirwan. Begitupun dengan penjelasannya mengenai pengelolaan bendungan, “Situ Gintung bukan seperti Jatiluhur atau Sempor, yang dioperasikan untuk irigasi, air minum, dan listrik. Jadi, tak ada unit pengelola Situ Gintung karena memang tak ada kegiatan operasional.”
Secara ideal, pengontrolan dan pemasangan alat-alat sebagai sistem keamanan harus tetap dilakukan guna meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan. “harus ada inspeksi, minimal setahun sekali. Lalu ada inspeksi besar tiap lima tahun sekali. Berhubung di Situ Gintung tidak ada kegiatan operasional, tidak dipasang instrumen pemantauan seperti isometer dan early warning system.” Tambah Irwan Nursyiwan.


Sumber:

TEMPO Majalah Berita Mingguan/07/XXXVIII 06 April 2009
Menggunting-gunting Tanah Situ Gintung

TEMPO Majalah Berita Mingguan/06/XXXVIII 30 Maret 2009
Tsunami di Situ Gintung

TEMPO Majalah Berita Mingguan/07/XXXVIII 06 April 2009
Direktur Jenderal Sumber Daya Air, Iwan Nursyirwan:
Tidak Ditemukan Hal Mencurigakan

Lereng Bendungan Situ Gintung Banyak Didirikan Rumah
Harian TEMPO Edisi 27 Maret 2009

Walhi: Menteri Djoko Kirmanto Bertanggung Jawab Secara Hukum
Harian TEMPO Edisi 31 Maret 2009

WALHI: Tragedi Situ Gintung Bukan Bencana Alam
Harian TEMPO Edisi 3 April 2009

Korban Situ Gintung Segera Direlokasi
Harian TEMPO Edisi 02 April 2009

Djoko Kirmanto: Seluruh Situ dan Bendungan Kritis*
Harian TEMPO Edisi 30 Maret 2009

Sekitar 36 Situ di Tangerang Belum Terkelola dengan Baik
Harian TEMPO Edisi 28 Maret 2009

Polisi Didesak Mengusut Kasus Situ Gintung
Harian TEMPO Edisi 31 Maret 2009

Situ Menangis “tuhan” Tertawa

Ratusan melayang tanpa kata
Mereka tak mampu
Bahkan sekedar untuk menjerit

tuhan-tuhan mereka murka
Silau oleh harta-harta dunia

Kesejahteraan pribadi
Keadilan diperdagangkan
dan wewenang adalah alat untuk berdagang

dimana tuhanku?
Mereka bersembunyi dibalik jas putih
Mengintip dari jendela istana mereka
Semakin bangga, mereka tersenyum keluar dari ruang penyidikan
Toh, keadilan adalah jajanan emperan

Inikah negri ku?
Ya, inilah negri ku
Negri agraris yang tidak punya pupuk
Tidak punya lahan karena diperdagangkan oleh pembangunan
Negri yang bebas melepas tangan
Kemudian menuduh

Untuk apa garuda pancasila selalu dipampang
Dijalan-jalan, diperkantoran bahkan dijamban
Atau tuhan tidak membaca?

“KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA”